LT-Tech - Reza Rivano
Ada yang sedikit berbeda dari aksi unjuk rasa sekitar 500 perangkat desa yang menuntut agar draf RUU Desa segera diserahkan ke DPR dan segera disahkan di Kementerian Dalam Negeri pada 20 Juni 2011. Kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, yakni Reog Ponorogo, mengiringi aksi unjuk rasa tersebut. Suasana aksi unjuk rasa para perangkat desa yang berasal dari seluruh desa se-Indonesia itu pun semakin semarak dan meriah dengan iringan kesenian Reog Ponorogo.
Banyak orang, mungkin, sudah sangat mengenal dengan salah satu warisan budaya bumi nusantara ini. Selain memang karena keunikan dari warisan budaya yang satu ini, beberapa tahun belakangan kebudayaan Reog Ponorogo ramai menjadi perbincangan di kalangan domestik maupun internasional. Namun, terlepas dari hal tersebut, salah satu warisan budaya kebanggaan Indonesia ini memang sangat menarik. Tidak hanya sebagai unsur budaya yang memiliki nilai jual pariwisata yang tinggi. Reog Ponorogo juga memiliki nilai historis kebudayaan yang sarat akan kearifan lokal yang penuh dengan pesan moral.
Reog Ponorogo pada dasarnya adalah salah satu seni budaya yang berasal dari tanah Jawa, tepatnya Jawa Timur yang bernama asli Reog. Namun, karena kesenian ini sudah sangat melekat dan diyakini berasal dari wilayah Ponorogo, maka nama Reog ditambahkan menjadi Reog Ponorogo. Tak heran, gerbang kota Ponorogo pun dihiasi oleh dua sosok khas Reog, yakni Warok dan Gemblak.
Reog juga acapkali diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Adapun instrumen pengi-ringnya, seperti kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung, dan (terutama) salompret, yang menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfer mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Dalam kesenian ini, tokoh utama yang sangat mencuri perhatian penontonnya adalah Reog, yakni ditampilkan dalam bentuk topeng kepala singa yang bermahkotakan bulu merak. Tokoh tersebut merupakan simbol untuk Kertabumi dalam cerita pemberontakan Ki Ageng Kutu.
Legenda Reog
Ada banyak versi yang mengiringi perjalanan kesenian Reog Ponorogo, salah satunya adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Dikisahkan, Ki Ageng Kutu tidak suka dan marah menyaksikan adanya pengaruh yang kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ki Ageng Kutu pun meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi Kerajaan Majapahit kelak.
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan keraja-an maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan 'sindiran' kepada Raja Bhre Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog pun menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kerta-bhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari Gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuat-an Warok, yang berada di balik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singa barong yang mencapai lebih dari 50 kilogram hanya dengan menggunakan giginya.
Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabhumi me-ngambil tindakan dan menyerang pergu-ruannya. Pemberontakan oleh Warok pun dengan cepat dapat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun, murid-murid Ki Ageng Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Banyak lagi cerita yang berkembang seputar kesenian Reog.
Yang jelas, hingga kini, masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya, Seni Reog me-rupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa ada-nya garis keturunan yang jelas. Mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Kontroversi
Beberapa waktu lalu, kesenian Reog sempat menjadi pemberitaan yang cukup memanaskan dan mengganggu hubung-an bilateral dua negara, Indonesia dan Malaysia. Pasalnya, Negeri Jiran tersebut mengklaim bahwa kesenian Reog merupakan kesenian asli dari Malaysia.
Di Malaysia sendiri, memang, ada sebuah kesenian atau tarian sejenis Reog Ponorogo yang dinamakan Tari Barongan. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementerian Kebudayaan Kese-nian dan Warisan Malaysia.
Kontroversi timbul karena pada to-peng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan 'Malaysia', dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini pun memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Ponorogo sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut. Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan, bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut 'Barongan' di Malaysia da-pat dijumpai di Johor dan Selangor, ka-rena dibawa oleh rakyat Jawa yang me-rantau ke negeri tersebut.